Selasa, 27 Desember 2011

KISAH 2 TAHUN YANG LALU

Kisah 2 tahun lalu masih membekas di hatiku dan tak pernah terhapus oleh waktu. Serpihan-serpihan masa  itu belum hilang, kadang membara atau malah berurai air mata ketika mengenangnya. Semuanya begitu tiba-tiba, tanpa peringatan ataupun pertanda yang bisa sedikit menyiapkan hati untuk menerima kenyataan yang tak mampu dihindari. Hanya kata andai yang bisa kuucapkan ketika aku benar-benar telah dihadapkan pada mimpi buruk yang kadang muncul di pikiranku. Andai dia masih hidup!?

08 Desember 2009, pagi yg cerah!

Aku dan kakakku mempersiapkan diri menyambut hari selasa yang penuh dengan jadwal kuliah masing-masing. Matahari belum tampak pagi itu kecuali sinarnya yang menyelinap di antara awan yang melayang perlahan terhembus angin. Aku melanjutkan tugas mid-semester yang semalam belum selesai padahal deadline-nya hari itu juga. Tiada yang aneh, semua aktivitas masih lancar seperti biasanya termasuk ponsel kakakku yang melantungkan nada dering yang memekakkan telingaku.

“Halo,,, siapa,,,,qmu Nur?,,, owh,,,, iya ,,,, qmi akan pulang,,, tidak akan pakai motor,,,,,,,,,,,.”

Aku diam mendengar percakapan singkat itu, aku tahu maksudnya tapi aku memilih berdiri dan tetap diam melihat kakakku menelpon beberapa orang keluarga kami. Tidak ada yang kurasakan saat itu,  tidak ada yang penting untuk kuekspresikan terhadap situasi ini, aku seakan mati rasa dan hatiku sepertinya membeku untuk memberikan respon.

“Kemasi beberapa bajumu, qT pulang, bapak sudah tidak ada.”

Masih diam, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, aku belum menangis meskipun telah melihat kakakku menguraikan air mata. Di mana rasa ibaku? Kenapa aku tak merasakan apa pun bahkan untuk menitikkan air mata untuk ayahku? Semuanya seakan masih mimpi bagiku, aq belum percaya bahwa kini aku kehilangan sosok ayah.

Aku mengemasi tugas mid-ku kemudian menitipkannya kepada teman seruanganku. Di sinilah aku mulai sadar ketika dia bertanya kenapa aku tidak ke kampus, aku berusaha tersenyum dan menjawab ayahku meninggal. Yeah,,, aku menitikkan air mata yang pertama kali atas kepergiannya ketika aku mengatakan dengan bibirku sendiri bahwa ayahku telah tiada.

******

Bendera putih berkibar melambai-lambai menyambutku di depan rumah, orang-orang yang berkerumun memperhatikan kedatangan kami, saat itu rasanya semua mata tertuju pada kami. Aku mengikuti kakakku dari belakang yang menyalami beberapa orang yang melayat. Perlahan-lahan aku menaiki tangga dan masih berharap aku segera terbangun dan mimpi buruk yang kujalani akan pudar dari penglihatanku. Namun, kini retinaku menangkap sesosok tubuh terbaring kaku tertutup sarung di tengah-tengah orang yang menangisi kepergiannya. Aku memeluk ponakanku yang tiba-tiba datang menghampiriku sambil menyebut namaku. Pipiku panas tapi air mata tak mengalir sama sekali. Aku berdiri menyaksikan kakakku memeluk tubuh tak bernyawa itu, sekali lagi kupeluk ponakanku dan kukatakan `uwang bapaknya` sedang tidur. Aku kemudian duduk di samping ayahku, kusentuh tangannya yang sedang terlipat dibalik sarung yang menutupinya. Dia sama sekali tak bergerak, hatiku serasa menjerit ketika tak medapat respon darinya, kepeluk dia seerat-eratnya namun tetap diam. Ya Tuhan, Engkau  benar-benar telah  mengambil dia dari sisiku. Ya Tuhan, aku sangat takut ditinggal mati orang yang kusayangi dan kini Engkau membiarkan aku merasakannya. Ya Tuhan, Engkau benar-benar tega memisahkanku darinya, tidakkah Engkau merasa iba melihatku yang tercabik-cabik karena ditinggalkan. Ya Allah, maafkan aku karena tidak ikhlas membiarkannya pergi, tempatkanlah ayahku di sisi-Mu sebagai salah satu hamba-Mu yang mulia.

Kutatap wajah pucatnya yang seakan tanpa beban, kupeluk dia sekali lagi sebelum dimandikan, kucium dahinya lalu kubisikkan permintaan maafku atas kekuranganku menjadi anak yang belum bisa dibanggakannya, atas segala kesalahanku, dan kubisikkan juga terima kasihku  atas semua pengorbanannya untukku yang belum dan tak mungkin kubalas.

Ada satu orang lagi yang ingin kupeluk, kulihat dia duduk di kerumunan tamu yang datang. Nafasku kutarik dalam-dalam ketika melihat wajah tua ibuku, kutatap matanya yang berkaca-kaca. Dia memang sosok ibu yang sangat tegar, sosok ibu yang akan selalu kubanggakan, sampai detik itu aku yakin dia tidak membuang setetes air matanya untuk ayahku tapi kutemukan pandangan matanya yang hampa lagi kosong. Kudekati dia lalu kudekap erat, “de`ni gaga bapakmu, nak “, bisikannya lemah terdengar diantara isak tangisku.

******

Kulihat tandu itu dibawa pergi meninggalkan rumahku. Bukan, bukan tandu saja, tapi ayahku. Dia dibawa pergi dan aku tidak akan pernah melihat dia kembali, aku tidak akan pernah melihat senyumnya lagi, tidak akan pernah mendengar dia marah, dan sangat menyakitkan aku tidak akan pernah mendengar dia memanggilku `nak`. Aku teringat kata-katanya ketika menasehatiku “Nak, jika aku dan ettamu (ibuq) telah tiada tidak akan ada lagi yang melindungimu, mintalah perlindungan pada Allah, tidak akan ada lagi yang memperdulikanmu bahkan saudara-saudaramu, kamu akan sendiri dan kesepian mengarungi dunia maka jagalah dirimu baik-baik.”

Aku mengikuti ayahku dari belakang karena aku tidak ingin kehilangan dirinya, aku terus menatap tandu itu sampai dia terbaring di sisi liang lahatnya. Kuliat lubang itu dengan hampa. Di sanakah ayahku akan terbaring kaku? Dia akan kesepian di sana, dia akan terjepit oleh tanah, dia akan berada dalam gelapnya bawah tanah (Ya Allah, lapangkanlah kuburan ayahku, jnganlh Engkau biarkan dia kesepian, terangilah kuburannya dengan cahaya_Mu yang paling terang). Aku berdiri di sisi lahatnya melihat dia perlahan-lahan memasuki tempat peristirahatanya yang terakhir (Ya Allah, tempatkanlah ayahku di surga-Mu). Aku berusaha untuk merelakan kepergiannya ketika untuk yang terakhir kalinya aku melihat tubuhnya yang terbungkus kain kapan menghadap ke barat dan pandanganku pada ayahku tiba-tiba dihalangi papan. Lubang tempat ayahku bersemayam tuk selama-lamanya ditimbuni perlahan-lahan, terus dan terus ditimbuni hingga tanah di atas tubuh ayahku menjadi gundukan.

Aku menatap gundukan tanah itu kemudian memejamkan mata. Kutetapkan dalam hatiku agar bersiap-siap menghadapi dunia tanpa dia namun aku menitikkan air mata bahwa dia takkan pernah ada lagi untukku. Kulangkahkan kakiku pergi bersama yang lainnya, kubiarkan ayahku terbaring sendirian di sana.
(Satu hal yang aku sesali kenapa aku menunda menelpon dia malam itu, setidaknya aku mungkin masih bisa mendengar suaranya untuk yang terakhir kalinya).


My Family

Tidak ada komentar:

Posting Komentar